Sekilas Tentang Pernikahan Adat Baduy


Pernikahan di Baduy merupakan sebuah proses serius di kalangan warga Baduy. Setelah menikah, keluarga baru ini harus sanggup memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Oleh karena itu, sebelum pernikahan ada serangkaian proses adat yang harus dijalankan calon mempelai laki-laki. Ada tiga proses lamaran yang diajukan keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan.
[Image: baduy-lebak.jpg?w=200&h=181]
Lamaran pertama diajukan untuk mengungkapkan keinginan meminang anak perempuan. Setelah delapan bulan, lamaran kedua diajukan.

Lamaran kedua merupakan bukti kesungguhan keluarga laki-laki menikah dengan anak perempuan keluarga itu.

Selang lima bulan, lamaran ketiga diajukan, dan jika disetujui pernikahan dapat segera dilangsungkan.

Ketiga lamaran ini harus dilalui oleh setiap warga Baduy, terutama di Baduy Dalam. Untuk Baduy Luar, banyaknya lamaran bisa kurang dari tiga kali. Selama masa lamaran ini, pinangan laki-laki masih mungkin ditolak.

Selama masa lamaran, warga Baduy menjalani bobogohan atau yang kita kenal sekarang sebagai pacaran. Bobogohan merupakan saat perkenalan antara laki-laki dan perempuan yang akan menikah atau dinikahkan. Laki-laki mengunjungi perempuan, calon istrinya. Tetapi, kedatangan laki-laki ini tidak boleh sendiri. Ia harus datang bersama teman- teman laki-laki. Di Baduy seorang laki-laki dan perempuan yang belum menikah tidak boleh terlihat berduaan. Selain itu, laki-laki harus membantu calon mertuanya bekerja di ladang. Orangtua perempuan akan menilai kerja calon menantunya, apakah layak untuk mendampingi putrinya kelak. Di Baduy keluarga baru harus menghidupi diri masing-masing dengan bekerja di ladang.

Akan tetapi, tidak semua calon pengantin menjalani bobogohan. Anak-anak yang dijodohkan sering diberitahu dan dipertemukan pada hari upacara pernikahan berlangsun. Selain itu, warga Baduy memang tidak boleh menolak perjodohan yang dibuat orangtua.

Sebelum lamaran pertama diajukan, puun harus mengetahui dan menyetujui rencana pernikahan ini. Puun juga ikut menentukan hari yang baik untuk menikah. Dalam setahun, setiap puun hanya bisa menikahkan sampai enam pasang. Jika permintaan pernikahan lebih dari enam pada tahun itu, pasangan yang terakhir harus menunggu tahun berikutnya.

Untuk menikah, mempelai laki-laki harus membawa perkakas dapur, seperti dandang, sepan (panci pengukus), atau tempat nasi yang disebut baris, dan uang yang jumlahnya tidak ditentukan. Peralatan dapur ini harus baru dan bisa diperoleh dari hasil keringat sendiri atau mengambil kepunyaan keluarga. Nantinya, alat-alat ini diserahkan kepada orangtua mempelai perempuan. Keluarga baru harus membeli sendiri perkakas mereka.

Pernikahan dilakukan secara sederhana. Baju yang dikenakan oleh mempelai tidak berbeda dari baju khas suku Baduy, hanya saja baju ini baru dan warnanya putih. Tidak ada resepsi di gedung-gedung. Yang ada hanya makan bersama di rumah setelah puun menikahkan pasangan itu. Seusai acara makan bersama, usai pula rangkaian upacara pernikahan. Pasangan baru ditinggalkan sendiri tanpa ada bekal apa pun sebagai laki-laki dan perempuan yang baru menikah.

SUKU Baduy selama ini dikenal sebagai suku yang memegang teguh adat untuk melindungi diri dari pengaruh luar yang begitu kencang menerpa. Pernikahan suku Baduy adalah bentuk yang tak luput dari ketetapan menjalankan adat. Salah satu langkah yang ditempuh untuk menjaga adat ini dengan menjaga "kemurnian" warga Baduy, yaitu dengan menolak pernikahan di luar suku Baduy. Kebanyakan dari mereka menikah antarsepupu. Pernikahan boleh dilakukan antara warga Baduy dari kampung yang berbeda, termasuk antara Baduy Dalam dan Baduy Luar. Pasangan ini bisa memutuskan di mana mereka tinggal kemudian, tentu saja dengan persetujuan puun. Perjodohan masih menjadi kebiasaan suku Baduy untuk mendapatkan pasangan bagi anak mereka. Beberapa keluarga, akhir-akhir ini mulai membebaskan anak mereka untuk memilih pasangan hidup masing-masing. Penentuan jodoh bagi anak hanya melibatkan ayah saja. Ibu (atau ambu dalam bahasa Sunda) jarang diikutsertakan. Anak pun jarang diajak berbicara tentang perjodohan ini.

Warga Baduy yang masih muda belum boleh menikah. Sekitar tahun 80-an, umumnya perempuan Baduy menikah pada umur 15 tahun. Saat ini kebanyakan perempuan dilamar pada usia 18 sampai 20 tahun. Sementara untuk laki-laki, usia pernikahan di atas 20 tahun. Bahkan ada pula warga yang menikah pada usia 25 sampai 30 tahun. Bagi warga Baduy Dalam, pernikahan adalah sekali untuk seumur hidup. Mereka tidak mengenal perceraian. Perceraian hanya terjadi jika salah satu meninggal. Janda/duda yang ditinggalkan boleh menikah lagi. Proses yang harus ditempuh sebelum pernikahan adalah upaya untuk mendapatkan pendamping yang tepat demi kelanggengan pernikahan. Adapun Baduy Luar mengizinkan adanya perceraian tanpa kematian. Yang juga menarik, adat Baduy melarang poligami atau poliandri.